Wali Songo

Komunitas Blogger Wajo

WALI SONGO
“Walisongo” berarti sembilan orang wali”
Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid
1.    Maulana Malik Ibrahim

Nama aslinya adalah Maulana Malik Ibrahim, wafat di Gresik, 12 Raiul awal 822/8 April 1419). Salah seorang dari wali songo yang di yakini sebagai pelopor penyebaran Islam di Jawa. Ia juga di kenal dengan nama Maulana Maghribi atau Syekh Maghrib, karena di duga berasal dari wilayah Maghribi, Afika Utara. Akan tetapi, masyarakat umum di Jawa lebih mengenalnya sebagai Sunan Gresik, karena tempat tinggal untuk menyiarkan agama Islam dan pemakamannya berada di daerah Gresik. Beliau menyebarkan agama Islam di Gresik dan sekitarnya.
 Metode dakwah yang beliau terapkan cukup unik dan tepat, yaitu dengan membuka warung untuk berjualan kebutuhan sehari-hari dengan harga murah, juga mengadakan pengobatan gratis. Beliau juga membangun msjid dan pondok pesantren di dusun Pesucian, sekitar 9 km utara Kota Gresikpada tahun 801  H/1392 M.
Beliau mencoba merangkul masyarakat bawah, yaitu kasta terendahdalam budaya Hindu. Metode ini ternyata berhasil, terbuktisedikit demi sedikit masjid yang di bangun beliau ramai di kunjungi warga yang sudah memeluk agama Islam. Dan Islam pun berkembang di pulau Jawa, bahkan di daerah-daerah Nusantara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur
2.    Sunan Ampel

Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang).
Sunan Ampel adalah penerus cita-cita dan perjuagan Maulana Malik Ibrahim. Beliau memulai aktivitasnya dengan mendirikan pesantren di Ampel Denta, Surabaya. Sehingga beliau dikenal dengan Pembina pondok pesantren pertama di Jawa Timur. Di pesantren inilah beliau mendidik para pemuda Islam untuk menjadi tenaga da’i yang akan di sebar keseluruh Jawa.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.” Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya
3.    Sunan Giri

Nama aslinya  Raden Paku, dikenal juga dengan sebutan Prabu Satmata, kadang-kadang disebut juga dengan Sultan Abdul Fakih. Di kenal sebagai Sunan Giri, karena beliau, mendirikan pesantren di dekat sebuah gunung yaitu gunung giri dan berdakwah disana sampai akhir hayatnya dan dimakamkan disana. Beliau adalah putra dari Maulana Ishak (adik dari Maulana Ibrahim). Ibunya bernama Dewi Sekardadu dari Blambangan.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.  Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam
4.    Sunan Bonang

Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban.
Dalam kegiatan dakwahnya, beliau telah berhasil mengubah jalan Raden Syahid dari kesesatan kemudian beliau  membimbing Raden Syahid dalam masala keagamaan sehingga Raden Syahid menjadi seorang alim  yang kemudian dikenal dengan julukan Sunan Kalijaga. Kegiatan dakwah Sunan Bonang dipusatkan di sekitar Jawa Timur, terutama di daerah Tuban. Beliau mendirikan Masjid Sangkal Dhaha. Dalam aktivitas dakwahnya, beliau  beliau mengganti nama dewa-dewa dengan nama nai dan malaikat dalam Islam dengan maksud agar penganut agama Hindu dan Budha mudah diajak masuk agama Islam.
Mengingat orang-orang Hindu/Budha gemar memainkan seni gamelan Jawa, maka Sunan Bonang menambahi dengan instrumen Bonang. Lirik-lirik tembang yang diciptakannya sarat akan nilai-nilai ketuhanan. Tembang Tombo Ati adalah salah satu karya beliau yang fenomenal. Tembang itu dipopulrkan oleh Emha Ainun Najib sekitar tahun 1990, dan semakin populer setelah dinyanyikan dan diaransemen oleh Opick.  Ajaran Sunan Bonang berintikan filasafat cinta atau isyq. Menurutnnya, cinta sama dengan iman yaitu pengetahuan intutif (ma’rifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT. Ajaran tersebut di sampaikannya melalui media kesenian, dibantu murid utamanya, Sunan Kalijaga.

5.    Sunan Drajad

Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’. Hal yang paling menonjol dalam dakwah Sunan Drajat adalah perhatiannya yang sangat serius pada masalah-masalah sosial. Beliau terkenal mempunyai jiwa sosial dan teman-teman dakahnya selalu berorientasi pada kegotongroyongan. Beliu selalu memberi pertolongan kepada umum, menyantuni anak yatim dan fakir miskin sebagai suatu proyek sosial yang dianjurkan agama lslam.
6.    Sunan Kalijaga

Daerah dakwah Sunan Kalijaga tidak terbatas, bahkan sebagai mubaligh beliau berkeliling dari satu daerah ke daerah lain. Karena system dakwahnya yang intelek dan actual, maka para bangsawan dan cendikiawan sangat simpati terhadapnya, demikian juga lapisan masyarakat awam, bahkan pengsaha.
Sunan Kalijaga yang berasal dari lingkungan keraton Majapahit menyebarkan Islam dengan memanfaatkan sarana wayang yang digemari masyarakat pedalaman Jawa. Salah satu contohnya adalah Wayang Purwa. Pengetahuan dibidang seni melatar belakangi pendekatan kebudayaan yang digunakannya dalam menyebarkan agama Islam. Dalam menjalankan dakwahnya, Sunan Kalijaga tidak membangun pesantren sepert yang dilakukan oleh para wali lainnya. Beliau lebih cenderung dengan berkelana dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya. Dalam metode dakwahnya, kepercayaan da adat istiadat setempat tidak ditentan begitu saja, bahkan beliau jadikan sebagai sarana dakwah.
7.    Sunan Kudus

Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.  Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
8.    Sunan Muria

Nama aslinya Raden Umar Said atau Raden Said, sedangkan nama kecilnya adalah Raden Prawoto, namun beliau lebih terkenal dengan nama Sunan Muria karena pusat kegiatan dakwahnya dan makamnya terletak di gunung Muria (18 km di sebelah utara kota Kudus sekarang).
Ciri khas Sunan Muria dalam upaya menyiarkan agama Islam adalah menjadikan desa-desa terpencil sebagai tempat dakwahnya. Beliau lebih suka menyendiri dan bertempat tinggal di desa dan bergaul dengan rakyat biasa. Beliau mendidik rakyat di sekitar gunung Muria. Cara yag ditempuhnya dalam menyiarkan agama Islam adalah dengan mengadakan kursus-kursus bagi bagi kaum pedagang, para nelayan dan rakyat biasa. Beliau juga banyak menggunakan metode pendekatan kebudayaan yang bertujuan untuk menarik rakyat golongan bawah masuk Islam. Misalnya, dengan menggunakan pertunjukan kesenian yang digemari masyarakat setempat. Sunan Muria juga terkenal sebagai pendukung setia Kesultanan Demak Bintiro dan berperan serta dalam mendirika masjid Demak.
9.    Sunan Gunung Jati

Nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah. Beliaulah pendiri dinastri raja-raja Cirebon dan kemudian juga Banten.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.